-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Dugaan Persekongkolan Oper Kredit Mobil, Warga Kediri Jadi Korban: Mobil di Tangan Orang Lain, Cicilan Tetap Ditagih Leasing

21 September 2025 | September 21, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-21T03:36:32Z


PijarHukum.com, Surabaya, 21 September 2025 – Kesedihan bercampur emosi tak terbendung dari Tri Rahayu (55), warga Desa Darungan, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Ia mengadukan nasibnya ke kantor hukum D’Firmanyah & Rekan, Jalan Peneleh No. 128 Surabaya, Sabtu (20/9/2025).


Tri Rahayu mengisahkan bagaimana dirinya yang awalnya patuh membayar cicilan mobil justru kini terjerat persoalan pelik. Mobil Honda BRV Type 1.5 G MT warna hitam dengan nomor polisi AG 1149 GL yang ia beli secara kredit melalui CIMB Niaga Surabaya pada tahun 2023, kini berpindah tangan ke orang lain melalui mekanisme “oper kredit” yang ternyata penuh masalah.


Kronologi Oper Kredit yang Berujung Masalah

Selama 18 bulan, Tri Rahayu selalu membayar angsuran Rp 5,7 juta per bulan tanpa keterlambatan. Namun, karena kondisi ekonomi yang makin sulit, ia mencari solusi. Lewat Bahawan Prabowo—seseorang yang ia kenal di Dealer Honda Wiyung Surabaya—ia ditawari jalan keluar dengan oper kredit.


Bahawan kemudian mengenalkan Tri Rahayu kepada Muhyiddin alias Gus Udin (38), warga Pasuruan. Keduanya lalu membuat surat pernyataan di atas materai pada 26 Juni 2025. Dalam surat itu, Gus Udin sepakat melanjutkan cicilan ke-19 dan seterusnya, serta menyerahkan Rp 20 juta kepada Tri Rahayu sebagai bentuk penggantian uang muka.


Namun, janji tinggal janji. Sejak Juli hingga September 2025, Gus Udin tak pernah membayar angsuran ke pihak CIMB Niaga. Akibatnya, pihak leasing tetap menagih Tri Rahayu dengan mengirim debt collector.


“Saya yang dikejar-kejar, padahal mobil sudah di tangan orang lain. Bahawan sulit dihubungi, bahkan nomor saya diblokir. Gus Udin hanya janji-janji akan membayar setelah tanahnya laku, tapi kenyataannya cicilan tidak jalan,” ungkap Tri Rahayu sambil menangis.



Indikasi Persekongkolan

Tak berhenti di situ, ketika Tri Rahayu mendatangi Bahawan di tempat kerjanya yang baru di Dealer Wuling Surabaya, ia justru mendapat perlakuan kasar. Bahawan bahkan mengusir Tri Rahayu dengan bantuan satpam, dan melarangnya menyebut ada “kongkalikong” dengan Gus Udin.


Kuasa hukum Tri Rahayu, Dodik Firmansyah, S.H., menilai peristiwa ini tidak bisa dianggap enteng.


“Ada indikasi persekongkolan jahat antara Bahawan Prabowo dan Gus Udin. Jika tidak diselesaikan secara kekeluargaan, kami akan menempuh jalur hukum. Mobil harus segera dikembalikan kepada klien kami,” tegas Dodik.


Perspektif Hukum

Kasus ini mengandung beberapa unsur hukum penting:

1. Wanprestasi (Ingkar Janji)

Sesuai Pasal 1239 KUHPerdata, pihak yang tidak memenuhi kewajibannya dalam suatu perjanjian dapat dianggap wanprestasi. Gus Udin jelas tidak menunaikan kewajiban membayar angsuran sebagaimana tertulis dalam surat oper kredit.

2. Perbuatan Melawan Hukum (PMH)

Jika terbukti ada rekayasa atau tipu muslihat untuk menguasai kendaraan tanpa melunasi kewajiban, hal ini dapat masuk ke ranah Pasal 1365 KUHPerdata (PMH).

3. Potensi Pidana Penggelapan

Karena mobil masih atas nama Tri Rahayu di leasing, penguasaan oleh Gus Udin tanpa melaksanakan kewajiban dapat dijerat dengan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan.

Jika terbukti ada kesepakatan bersama untuk merugikan korban, hal ini bisa naik ke Pasal 55 KUHP tentang penyertaan tindak pidana.

4. Larangan Oper Kredit Tanpa Persetujuan Leasing


Berdasarkan praktik umum perjanjian kredit kendaraan bermotor, oper kredit tanpa persetujuan leasing adalah ilegal. Pihak leasing tetap hanya mengakui debitur utama (Tri Rahayu), sehingga segala risiko hukum kembali ke dirinya.


Edukasi untuk Masyarakat

Kasus Tri Rahayu ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat:

Jangan pernah melakukan oper kredit kendaraan tanpa persetujuan tertulis dari leasing.

Segala bentuk perjanjian di bawah tangan (meskipun bermaterai) tidak mengikat pihak leasing.

Jika terpaksa, mintalah pihak leasing untuk melakukan take over resmi agar status hukum jelas.


Kasus ini menunjukkan betapa rawannya praktik “oper kredit liar” tanpa prosedur resmi. Alih-alih menjadi solusi, justru menjerumuskan debitur ke dalam persoalan hukum dan tekanan psikis.


(75)