DAIRI, PijarHukum.com – Kasus dugaan penganiayaan terhadap wartawan oleh Kepala Desa Pegagan Julu VI, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, terus menjadi sorotan publik. Peristiwa yang terjadi pada 4 September 2025 itu kini telah naik ke tahap penyidikan di Polres Dairi dan menyita perhatian insan pers di berbagai daerah.
Korban dalam peristiwa tersebut adalah Bangun M.T. Manalu, wartawan utama sekaligus Pimpinan Redaksi Media Editorial24jam.com, yang juga menjabat sebagai Sekretaris DPC SPRI Tapanuli Utara (Taput) serta Ketua Bidang Sertifikasi Kompetensi Wartawan DPD SPRI Sumatera Utara. Ia bersama rekannya, Abednego P.I. Manalu, melakukan peliputan dan konfirmasi terkait pengelolaan Dana Desa Tahun Anggaran 2023/2024 di Kantor Desa Pegagan Julu VI.
Namun, saat melakukan tugas jurnalistik, keduanya diduga mengalami kekerasan fisik dan penghalangan kerja oleh Kepala Desa Edward Sorianto Sihombing bersama beberapa orang yang disebut perangkat desa.
Menurut laporan korban, peristiwa bermula saat Bangun dan tim datang ke kantor desa dan menyalami perangkat desa dengan sopan, kemudian menanyakan keberadaan kepala desa. Setelah dipersilakan menunggu, Edward Sorianto Sihombing keluar dari ruangannya dan langsung berbicara dengan nada tinggi.
Kepala desa meminta surat tugas dan kartu pers para wartawan dengan nada emosional, bahkan menunjuk-nunjuk korban sambil berkata, “Jangan ajari saya sopan santun! Kamu kan tamu, jadi jangan ajari saya sopan-sopan!”
Situasi memanas ketika kepala desa mengetahui bahwa rekan Bangun, Abednego, merekam kejadian tersebut. Edward kemudian mengancam akan memanggil Ormas PP, dan bahkan menendang perut Bangun saat tangannya dipegang oleh seorang pria yang diduga perangkat desa. Seorang pria lain yang tidak dikenal juga ikut memukul Bangun di bagian wajah.
“Kepala desa juga menghina saya dengan kata-kata kasar, menendang perut saya, dan mencoba merampas handphone rekan saya yang merekam kejadian itu,” ujar Bangun M.T. Manalu usai menjalani visum.
Abednego P.I. Manalu menambahkan bahwa dirinya turut menjadi korban pemukulan dan perampasan alat kerja jurnalistik. “Handphone saya berusaha dirampas oleh beberapa orang, bahkan ada seorang wanita yang juga ikut memukul,” ungkapnya kepada wartawan.
Atas kejadian itu, korban melalui kuasa hukumnya Aleng Simanjuntak, S.H. telah melaporkan kasus tersebut ke Polres Dairi dengan dua laporan resmi:
Laporan awal: Nomor STTLP/B/345/IX/2025/SPKT/POLRES DAIRI/POLDA SUMUT (tanggal 4 September 2025)
Laporan lanjutan: Nomor STTLP/B/395/X/2025/SPKT/POLRES DAIRI/POLDA SUMUT (tanggal 4 Oktober 2025)
Kuasa hukum menegaskan bahwa peristiwa ini bukan sekadar penganiayaan, melainkan juga penghalangan terhadap tugas jurnalistik, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan:
“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dapat dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000.”
Selain itu, tindakan pemukulan dan pengeroyokan juga diduga melanggar Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dan Pasal 170 KUHP tentang kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama di muka umum.
“Kami berharap pihak Polres Dairi menindaklanjuti kasus ini dengan serius dan profesional. Wartawan dilindungi undang-undang dalam menjalankan tugas jurnalistiknya,” tegas Aleng Simanjuntak, S.H., di Mapolres Dairi.
Kasus ini memicu kecaman luas dari berbagai organisasi pers di Sumatera Utara dan nasional. Mereka menilai tindakan kekerasan terhadap jurnalis merupakan bentuk ancaman terhadap kebebasan pers dan transparansi publik.
Sejumlah jurnalis di berbagai daerah turut menyuarakan solidaritas, mendesak aparat penegak hukum menuntaskan kasus ini dan memberikan efek jera kepada pelaku.
Hingga kini, pihak Polres Dairi belum memberikan keterangan resmi terkait perkembangan penyidikan. Namun informasi yang diterima, kasus ini sudah masuk tahap gelar perkara sejak 3 Oktober 2025.
Publik berharap penyidik tidak hanya memberi perhatian, tetapi benar-benar menegakkan hukum sesuai UU Pers, KUHP, dan prinsip perlindungan terhadap kebebasan pers sebagaimana dijamin dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
Kasus ini menjadi peringatan penting bagi seluruh pejabat publik agar memahami peran pers sebagai mitra kontrol sosial, bukan sebagai musuh. Setiap bentuk kekerasan terhadap wartawan adalah pelanggaran hukum dan moral, serta ancaman terhadap demokrasi.
“Kami berharap Polres Dairi menegakkan hukum seadil-adilnya agar kasus ini menjadi pelajaran bagi semua pihak, terutama pejabat publik, untuk menghormati kerja jurnalistik yang dilindungi undang-undang,” pungkas Aleng Simanjuntak.
Pewarta: Baslan Naibaho (MitraBhayangkara.my.id)
