-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Wajah Hukum Indonesia Kini: Di Persimpangan Reformasi, Kepentingan Politik, dan Krisis Lembaga

13 Oktober 2025 | Oktober 13, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-13T05:26:00Z


Jakarta, PijarHukum.com —
Sejumlah tanda tanya besar menempel pada kondisi penegakan hukum di Indonesia pada tahun-tahun terakhir: munculnya sorotan terhadap independensi peradilan, gelombang kasus korupsi yang masih berjalan, krisis kelebihan kapasitas penjara, serta kebijakan politik hukum yang dinilai belum tuntas. Hasil pemeriksaan lapangan dan telaah dokumen yang kami lakukan mengungkap pola masalah yang saling terkait — dan menuntut jawaban publik dari pengambil kebijakan.


Titik-titik masalah yang kami temukan

1. Independensi peradilan yang terus dipertanyakan

Berbagai pihak, termasuk akademisi dan organisasi hukum, mencatat adanya penurunan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Isu-isu yang muncul antara lain tekanan politik terhadap hakim, mekanisme rekrutmen dan promosi yang tidak transparan, serta kasus-kasus etika di tingkat mahkamah konstitusi yang memicu kekhawatiran tentang integritas pengadilan nasional. Permasalahan ini tidak hanya bersifat simbolik — dampaknya terasa pada putusan-putusan strategis dan rasa keadilan bagi publik.

2. Penegakan hukum vs. politik: KPK dan kasus-kasus besar

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih aktif menindak sejumlah perkara yang melibatkan pejabat dan aktor swasta besar. Namun dinamika politik dan wacana kelembagaan terkadang membayangi proses penyidikan dan penuntutan, sehingga publik mempertanyakan apakah penegakan hukum berjalan adil dan konsisten. Contoh terbaru: panggilan saksi dan pengembangan penyidikan beberapa kasus yang terus mendapat sorotan media.

3. Overcrowding dan krisis di lembaga pemasyarakatan

Sistem pemasyarakatan Indonesia menghadapi masalah akut: data menunjukkan jumlah narapidana jauh melebihi kapasitas. Kondisi ini mendorong risiko pelanggaran hak asasi, praktik korupsi internal, dan ancaman keselamatan bagi penghuni lapas. Upaya pemulihan—termasuk wacana grasi/pengampunan massal—memunculkan debat soal proporsi antara kemanusiaan dan pembuatan kebijakan yang transparan.

4. Reformasi hukum yang belum tuntas (RUU KUHAP, Omnibus dan RUU strategis)

Beberapa RUU kunci yang dimaksudkan untuk menyelaraskan sistem peradilan dan praktik hukum dinilai belum sepenuhnya selaras dengan semangat reformasi hukum (mis. KUHP/KUHAP baru, omnibus politik). Kritik utama menyasar substansi yang dianggap belum mengusung prinsip restoratif dan perlindungan hak asasi secara memadai. Akibatnya, peluang merombak praktik penegakan hukum yang problematik masih tertunda.


Fakta kuantitatif penting

  • Per Desember 2024, populasi narapidana tercatat hampir dua kali lipat dari kapasitas sistem pemasyarakatan, dengan jutaan kasus backlog di pengadilan tingkat pertama dan peradilan umum di sejumlah daerah. Kondisi ini memperbesar praktik penyelesaian non-formal yang merugikan keadilan.


Wawancara & pemeriksaan dokumen (ringkasan temuan)

  • Kami menelaah pernyataan resmi beberapa lembaga dan liputan media terhadap kasus-kasus korupsi yang sedang disidik; tersingkap bahwa beberapa proses penyidikan berjalan intens namun interpretasi publik terhadap motivasi politik tetap kuat.
  • Dokumen kajian akademik dan FGD pemerintah menyoroti perlunya mekanisme penjaminan integritas hakim lebih kuat dan rekrutmen yang transparan.


Pertanyaan investigatif yang PijarHukum.com ajukan kepada publik dan otoritas

  1. Kepada Mahkamah Agung dan Dewan Kehormatan: langkah konkret apa yang diambil untuk menjamin transparansi seleksi, promosi, dan mekanisme pengawasan hakim?
  2. Kepada KPK: bagaimana mekanisme perlindungan penyidik dan saksi agar penegakan hukum tidak terdistorsi oleh tekanan politik atau kepentingan lain?
  3. Kepada Kemenkumham dan DPR: rencana jangka pendek dan jangka panjang apa untuk mengatasi overcapacity lapas — apakah ada audit independen, dan bagaimana transparansi kriteria pemberian grasi/pengampunan massal?
  4. Kepada DPR & pemerintah: bagaimana menyelaraskan revisi RUU (KUHAP, KUHP, omnibus) dengan prinsip-prinsip hak asasi dan restoratif justice?



Analisis singkat: Mengapa masalah ini saling terkait

Kelemahan independensi peradilan, praktik korupsi yang terus muncul, dan tekanan kapasitas penjara bukanlah peristiwa terpisah. Mereka saling memperkuat: hakim dan aparat yang kurang terlindungi dari tekanan berpotensi memperlemah putusan, sementara ketidakseimbangan hukum (hukuman berat, praktik penahanan pra-sidang berlebih) mendorong overcrowding yang membuka celah korupsi dan pelanggaran HAM. Reformasi struktural diperlukan—bukan sekadar tindakan ad-hoc.


Rekomendasi untuk langkah kebijakan (ringkas)

  • Transparansi seleksi dan pengawasan hakim: publikasi tahap rekrutmen, kriteria penilaian, dan audit independen atas dugaan pelanggaran etika.
  • Penguatan legal aid & alternatif penyelesaian: perluasan akses bantuan hukum, mediasi, dan restoratif justice untuk mengurangi beban pada sistem penahanan.
  • Audit lapas dan kebijakan pengurangan hukuman berbasis risiko: pemeriksaan independen terhadap kondisi lapas dan program pembebasan/rehabilitasi yang jelas kriterianya.
  • Kepastian politik terhadap penegakan hukum: jaminan lembaga penegak beroperasi tanpa intervensi politik, dengan mekanisme pengawasan sipil.


Catatan metodologi: Artikel ini disusun dari telaah dokumen resmi lembaga (siaran pers, kajian kebijakan), laporan media nasional, dan data publik terkait pemasyarakatan serta putusan-putusan hukum yang relevan. Kami mencantumkan sumber-sumber yang menjadi dasar temuan penting dalam artikel ini.


(75)