-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Teror Softgun di Bandungan: Dua Warga Ditembak, Penanganan Polisi Dipertanyakan ?

20 Desember 2025 | Desember 20, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-20T10:50:36Z


Semarang, PijarHukum.com
– Insiden penembakan menggunakan softgun yang melukai dua warga di Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, pada Sabtu dini hari, 13 Desember 2025, hingga kini menyisakan tanda tanya besar. Meski laporan resmi telah diterima kepolisian, proses penegakan hukum dinilai berjalan lamban dan minim progres, memunculkan dugaan pembiaran terhadap terduga pelaku.


Berdasarkan penelusuran investigatif PijarHukum.com, peristiwa terjadi di kawasan Panti Kalinyamat, tepatnya di depan rumah Bu Hernan, Kelurahan Bandungan. Dalam kejadian tersebut, dua korban berinisial F dan H mengalami luka tembak yang dibuktikan dengan hasil visum dan laporan polisi.

  • Korban F mengalami luka tembak di paha kiri
  • Korban H mengalami luka tembak di betis kiri hingga bawah mata kaki


Tak berhenti di situ, terduga pelaku juga diduga mengeluarkan senjata tajam, sehingga menciptakan ketakutan massal dan kepanikan warga sekitar.


Terduga pelaku diketahui berinisial F.F, yang oleh warga setempat kerap dipanggil “Kentang”. Sejumlah warga menyebut, sosok ini telah lama dikenal meresahkan, kerap membawa senjata tajam, dan sering mengaku sebagai preman Bandungan, sehingga warga enggan melapor.

“Sudah lama bikin resah. Orang-orang takut melapor karena sering ada ancaman,” ujar seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.


Fakta ini memperkuat dugaan bahwa tindakan pelaku bukan spontan, melainkan bagian dari pola intimidasi dan kekerasan berulang.


Keterangan Foto: Surat Tanda Penerimaan Laporan Pengaduan dari Polsek Bandungan atas dugaan tindak pidana penganiayaan menggunakan softgun yang melukai dua warga, tertanggal 13 Desember 2025. Dokumen ini menjadi bukti bahwa laporan resmi telah diterima, namun penanganannya dinilai belum maksimal

.

Peristiwa tersebut telah dilaporkan secara resmi ke Polsek Bandungan pada hari yang sama. Hal ini diperkuat dengan Surat Tanda Penerimaan Laporan Pengaduan bernomor:
Rekom/841/XII/2025/Res Smg/Sek Bdng.


Namun ironisnya, hingga beberapa hari pascakejadian, para korban mengaku belum melihat tindakan hukum signifikan, seperti penetapan tersangka, penyitaan barang bukti, atau penahanan.


Saat dikonfirmasi, Kanit Reskrim Polsek Bandungan IPDA Dwi Agus Novianto hanya menyatakan singkat:

“Masih kami dalami.”



Pernyataan tersebut justru berbanding terbalik dengan fakta luka fisik korban dan keterangan saksi di lapangan.


Mencuatnya pernyataan bahwa kasus ini berpotensi dikategorikan sebagai tindak pidana ringan (tipiring) memicu polemik. Pasalnya, softgun yang digunakan menyebabkan luka fisik, disertai ancaman senjata tajam, dan menimbulkan rasa takut publik.


Pakar Hukum Pidana, Dr. Raka Pradipta, S.H., M.H., menegaskan bahwa softgun tidak bisa otomatis dianggap sebagai mainan atau perkara ringan.

“Yang dinilai dalam hukum pidana bukan semata jenis alatnya, melainkan niat pelaku dan akibat yang ditimbulkan. Jika softgun digunakan untuk menakuti apalagi melukai, unsur penganiayaan jelas terpenuhi,” tegasnya.


Ia menambahkan, ketika softgun digunakan bersama senjata tajam, maka terdapat unsur pemberatan pidana.

“Itu bukan lagi sekadar penganiayaan biasa, tapi sudah masuk ranah kekerasan serius yang mengancam keselamatan jiwa,” jelasnya.


Secara hukum, perbuatan terduga pelaku berpotensi dijerat pasal berlapis, antara lain:

  1. Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan

    • Ayat (1): Pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan

    • Ayat (2): Jika mengakibatkan luka berat, pidana penjara paling lama 5 tahun

  2. Pasal 335 KUHP
    Tentang perbuatan tidak menyenangkan atau ancaman kekerasan
    Ancaman pidana penjara paling lama 1 tahun

  3. Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951
    Tentang membawa senjata tajam tanpa hak
    Ancaman pidana penjara hingga 10 tahun


Menurut ahli, penentuan pasal bergantung pada alat bukti, keterangan saksi, visum et repertum, serta rangkaian perbuatan pelaku.

 

Keanehan juga muncul dari SP2HP yang mencantumkan tanggal 14 dan 17 Desember 2025 sebagai perkembangan perkara. Namun, penelusuran di lapangan tidak menemukan aktivitas penyidikan signifikan pada tanggal tersebut.


Fakta di lapangan justru menunjukkan, langkah lanjutan baru dilakukan setelah korban didampingi media dan lembaga masyarakat mendatangi Polsek Bandungan.


Situasi ini memperkuat persepsi publik bahwa penanganan perkara terkesan stagnan, sekaligus menimbulkan kekhawatiran serius terhadap rasa keadilan dan kepastian hukum bagi korban.


(75)