Wonosobo – PijarHukum.com || Kasus kriminal berdarah kembali mengguncang Jawa Tengah. Seorang residivis kambuhan bernama Iwan Merapi yang baru saja keluar dari penjara atas kasus pembacokan, kini kembali beraksi dengan korban seorang prajurit TNI aktif, Sertu Rahman Setiawan dari Kodim 0707/Wonosobo.
Peristiwa ini terjadi pada Senin, 15 September 2025 pukul 10.45 WIB di wilayah Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo. Korban menderita luka bacok parah hingga akhirnya meninggal dunia saat mendapat perawatan di RS PKU.
Tak butuh waktu lama, Unit Intel Kodim 0707/Wonosobo bergerak cepat melakukan pelacakan dan berhasil menangkap pelaku di Desa Siwiyu, Kecamatan Kepil. Iwan Merapi kini menjalani pemeriksaan intensif untuk mengungkap motif kejahatannya.
Dari sisi hukum, aksi keji pelaku dapat dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan ancaman 15 tahun penjara. Jika terbukti adanya unsur kesengajaan dan perencanaan, pelaku dapat terjerat Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman mati, penjara seumur hidup, atau 20 tahun penjara.
Karena korban merupakan anggota aktif TNI, proses hukum akan melibatkan peradilan militer sesuai UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Namun, posisi pelaku sebagai warga sipil menuntut koordinasi antara peradilan umum dan militer agar hukum ditegakkan secara transparan dan tidak tumpang tindih.
🔎 Analisis Hukum: Lemahnya Sistem Pembinaan Residivis
Kasus Iwan Merapi kembali membuka luka lama tentang kegagalan sistem pembinaan narapidana di Indonesia. Seorang residivis yang sudah pernah dihukum karena kasus pembacokan, seharusnya melalui proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ketat, sehingga ketika bebas tidak lagi mengulangi perbuatannya.
Namun faktanya, angka residivisme di Indonesia cukup tinggi. Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemenkumham menunjukkan banyak mantan narapidana yang kembali melakukan tindak pidana dalam kurun waktu singkat setelah bebas. Hal ini menandakan:
1. Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) belum efektif. Sistem lebih menekankan pada penahanan daripada rehabilitasi psikologis maupun sosial.
2. Pengawasan pasca-bebas sangat lemah. Tidak ada sistem monitoring yang kuat terhadap mantan napi berisiko tinggi seperti pelaku kekerasan berat.
3. Minimnya program reintegrasi sosial. Narapidana yang bebas tidak diberikan bekal keterampilan atau dukungan sosial yang memadai, sehingga kembali ke pola perilaku lama.
Menurut Pasal 2 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, tujuan pemasyarakatan adalah membentuk warga binaan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana. Tetapi kasus Iwan Merapi justru menunjukkan adanya kesenjangan serius antara teori dan praktik.
Jika kelemahan ini tidak segera dibenahi, publik akan terus terancam oleh pelaku kriminal kambuhan yang lolos dari jeruji besi tanpa perubahan perilaku.
📝 Catatan Redaksi PijarHukum.com
Kasus pembunuhan terhadap prajurit TNI ini bukan hanya soal kriminal murni, tetapi juga alarm keras bagi pemerintah dan aparat hukum. Lemahnya pembinaan residivis menandakan sistem hukum masih gagal memberikan efek jera sekaligus pencegahan berulangnya kejahatan.
Pertanyaannya kini: apakah kasus Iwan Merapi akan menjadi momentum pembenahan sistem pemasyarakatan Indonesia, atau sekadar menambah daftar panjang bukti gagalnya pembinaan residivis di negeri ini?
(75)

