-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Sidang RK di PN Depok Memanas: Kuasa Hukum Bongkar Cacat Formil Visum hingga Inkonsistensi Saksi

24 September 2025 | September 24, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-24T03:29:20Z


PijarHukum.com, Kota Depok – Perkara dugaan tindak asusila dan persetubuhan anak di bawah umur dengan terdakwa oknum Anggota DPRD Kota Depok, Rudy Kurniawan alias RK, kembali disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Kota Depok, Senin (22/9/2025). Sidang yang telah memasuki tahap ke-15 ini mengagendakan Replik Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas pledoi (nota pembelaan) yang disampaikan tim kuasa hukum terdakwa pekan lalu.


Dalam agenda replik, JPU Kejari Depok menegaskan tetap pada tuntutannya: pidana penjara 13 tahun bagi RK. Tuntutan itu diajukan berdasarkan dugaan pelanggaran Pasal 81 ayat (2) Jo Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang mengatur hukuman berat bagi pelaku persetubuhan terhadap anak.


Kuasa hukum RK, Zaenudin, menilai replik jaksa tidak berdasar karena alat bukti yang diajukan sarat kejanggalan. Ia menyoroti hasil visum et repertum yang dijadikan dasar oleh jaksa.


Menurut Zaenudin, visum yang dilakukan oleh dokter umum tidak memiliki spesifikasi forensik, sehingga cacat formil dan materiil. Padahal, sesuai Permenkes No. 77 Tahun 2015 tentang Visum et Repertum, hanya dokter forensik atau dokter yang memiliki sertifikasi khusus yang berwenang melakukan pemeriksaan tersebut.


“Visum baru dilakukan enam bulan setelah dugaan tindak pidana terjadi, jelas ini bermasalah. Jangka waktu yang terlalu lama membuat validitas hasil visum sangat lemah sebagai alat bukti,” tegas Zaenudin.


Tak hanya visum, hasil pemeriksaan psikologis korban juga dipersoalkan. Menurutnya, psikolog yang ditunjuk jaksa tidak memiliki kompetensi yang memadai. Hal ini menimbulkan keraguan apakah hasil pemeriksaan psikologi tersebut dapat digunakan sebagai bukti yang sah.


Zaenudin juga menyoroti keterangan saksi E, yang merupakan ibu korban. Dalam persidangan, keterangan saksi dinilai inkonsisten. Pada sidang pra-peradilan, saksi E pernah menyebut tidak ada tindak pidana, namun di persidangan materiil menyatakan sebaliknya.


“Keterangan saksi yang berubah-ubah dapat dikategorikan sebagai keterangan palsu sesuai Pasal 242 KUHP, yang ancaman pidananya bisa mencapai 7 tahun penjara,” jelasnya.


Ia menambahkan, dari total 16 saksi yang dihadirkan jaksa, hanya satu saksi (E) yang memberikan keterangan memberatkan terdakwa, sementara 15 saksi lainnya tidak mendukung keterangan tersebut.


Perkara ini menjadi sorotan karena mempertemukan dua kepentingan hukum:

1. Perlindungan Anak → UU Perlindungan Anak menekankan bahwa setiap anak berhak dilindungi dari kekerasan dan eksploitasi seksual. Pasal 81 dan 82 UU 35/2014 menegaskan hukuman berat bagi pelaku persetubuhan atau perbuatan cabul terhadap anak.

2. Hak Terdakwa atas Peradilan yang Adil → KUHAP dan asas fair trial memberikan hak kepada terdakwa untuk memperoleh pembelaan, termasuk menolak alat bukti yang dianggap cacat formil maupun materiil.


Jika benar visum dilakukan tanpa prosedur sah dan saksi memberikan keterangan yang tidak konsisten, maka majelis hakim harus mempertimbangkan aspek tersebut sebelum menjatuhkan vonis.


Humas PN Depok, Andry Eswin, menyampaikan bahwa sidang berikutnya akan digelar 1 Oktober 2025 dengan agenda Duplik dari tim penasihat hukum RK. Setelah itu, majelis hakim akan menjadwalkan sidang putusan (vonis).


“Sidang kemarin masih pada tahapan replik jaksa. Agenda berikutnya duplik dari terdakwa. Setelah itu baru sidang vonis,” ujarnya.


Kasus ini bukan sekadar perkara hukum biasa, melainkan juga menyangkut integritas seorang pejabat publik. Apapun hasil vonis nantinya, publik menanti apakah pengadilan akan lebih berpihak pada kepastian hukum atau keadilan substantif, terutama bagi korban anak yang dilindungi undang-undang.


(75)